Sukses bagi seorang entrepreneur sejati seperti Bob Sadino, ternyata begitu sederhana. “Kalau saya mengharapkan besok saya bisa makan, dan besok saya dapat makan, saya sudah sukses,” ungkap bos Kemchicks Group ini. Ia bilang, banyak orang tidak pernah memahami arti sepiring nasi. Makan dianggap sebagai kewajaran jika orang tidak punya masalah untuk mendapatkan makanan. Tapi bagi orang yang pernah lapar, pernah tidak makan, sepiring nasi mempunyai arti yang sangat besar dan sangat mendalam. “Mungkin titik berangkat saya itu yang membuat saya bisa begini hari ini,” tutur Bob, yang pernah jadi sopir taksi dan nguli di Jakarta dengan upah Rp100 per hari.
Bob, yang lulus SMA tahun 1953 itu mengkritik keras kecenderungan para orang tua yang malas mendidik sendiri anak-anaknya. Para orang tua itu melepaskan tanggung jawab mendidik anak dan seenaknya membebankan tugas itu pada sekolah. Akhirnya, sering mereka memaksakan kehendak pada anak-anak dalam hal memilih jenis pendidikan. Padahal, kata pengusaha gaek yang pernah ikut-ikutan temannya kuliah di Fakultas Hukum UI ini, semua anak bebas menentukan pilihan. Namun itulah egoisnya orang tua. Tanpa sadar mereka sedang memperkosa pikiran anak-anak.
Bagi Bob, keteladanan sangat bermakna untuk membangun mental seseorang. “Bukan dengan memicu dan memacu, karena banyak orang yang tidak mau dipicu dan dipacu,” tegas Bob. Ia mengaku sangat keras dalam mendidik anak-anaknya, tetapi juga memberi pilihan sebebas-bebasnya. Disiplin harus ditegakkan, tapi kemandirian juga harus ditumbuhkan. Itulah semangat Bob dalam menggerakkan para karyawan di Kemchicks Group, yang mana mereka dianggapnya sebagai anak-anak sendiri.
Teramat sayang jika orang hanya mengingat seorang Bob Sadino sebagai pengusaha nyentrik, yang kemana-mana pakai celana pendek. Makin digali, makin ketemulah sosoknya sebagai seorang Master Kehidupan. Bahasanya bernuansa sufistik. Ungkapan-ungkapan yang sederhana, lugas, dan kadang provokatif namun kaya makna itu, menjadikannya bak seorang “Guru Zen” dalam hal bisnis. “Saya ini seperti sebuah gitar tua di atas meja. Apakah saya bisa mengalunkan irama yang indah atau buruk, tergantung siapa yang memetiknya,” ungkap Bob saat didesak untuk mengeluarkan seluruh ‘ilmunya’ oleh Edy Zaqeus.
Kalau pikiran ini kita umpamakan sebuah cangkir teh, maka kita tak bakalan pernah bisa mengenal “tehnya” Bob Sadino, jika kita tak lebih dulu mengosongkan cangkir itu. Berikut petikan wawancara antara Bob Sadino, sang “Guru Zen” bisnis, dengan salah satu pengagumnya, Edy Zaqeus. Wawancara berlangsung sepanjang perjalanan dari rumah Bob di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sampai di kantornya di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Wawancara ini merupakan salah satu bab dari buku best seller berjudul Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah! (Gradien, 2004)
Rata-rata kalau orang bicara modal, langsung otaknya bilang duit. Orang yang lebih canggih lagi, kalau bukan duit ya benda-benda modal seperti pacul, pikulan, atau becak. Itu modal yang bisa dilihat, dipegang, dirasakan, modal tangible. Ada modal yang tidak bisa dilihat, dirasakan, dipegang. Umpamanya modal keberanian, kemauan, tekad. Saya pribadi, dari mana mulainya? Ya, dari yang tidak kelihatan tadi.
Soal ketidakberanian mengambil risiko, jika berdasarkan perhitungan risikonya terlalu besar. Komentar Anda?
Karena saya berangkat tanpa perhitungan apa-apa, bagaimana saya mau mengitung kalau duit saya tidak punya? Modal saya hanya kemauan, tapi saya punya kaki punya tangan, terus saya melangkah, saya berbuat!
Apa cukup mengandalkan keberanian ambil risiko saja?
Salah satunya iya. Kalau orang biasanya menghindari risiko, saya masuk kategori orang yang mencari risiko, kan? Masa bodoh akibatnya, yang saya cari itu risiko. Silahkan terjemahkan….
Pernah mengalami kegagalan dalam usaha?
Ini pertanyaan yang sangat lucu… Kegagalan itu sudah termasuk dalam usaha. Cari risiko berarti cari kegagalan, kan? Berusaha itu modalnya bukan duit. Duit itu nomor ke seratus kali!
Soal mental kewirausahaan masyarakat kita?
Rata-rata orang Indonesia masih berpikir untuk jadi pegawai saja. Termasuk mereka yang sudah selesai sekolah, sarjana-sarjana itu. Kebanyakan orang tidak mau dipicu dan dipacu mental kewirausahaannya. Karena tidak mau, ya pendekatannya harus beda. Ya, keteladanan saja. Kalau orang melihat Anda berhasil, Anda hanya bisa berharap orang lain mengikuti Anda. Itu saja!
Bukankah itu pasif?
Memangnya kita bisa maksa orang? Kamu mau nggak dipaksa? “Kamu besok berhenti saja jadi wartawan, kamu ikuti jejak saya, mau nggak kamu?!”
Konon dalam usaha perlu ‘naluri bisnis’ (instinct) atau feeling. Anda sendiri?
Dari pengalaman, saya tidak mengatakan bahwa instinct atau feeling itu faktor. Mungkin ada, Mungkin! Tapi itu kan sesuatu yang tidak ada jaminannya? Yang orang katakan feeling bagi saya, sebenarnya adalah karena saya sudah melangkah 999 langkah. Maka langkah saya yang ke-1000 itu, yang sebetulnya langkah berikutnya, itulah yang dikatakan orang instinct atau feeling.
Kalau soal ‘hoki’ atau keberuntungan?
Berapa persen sih orang yang bisa menyandarkan dan mengandalkan sebuah sukses dari faktor hoki? Kenapa nggak dilaksanakan saja, dijalankan saja? Mungkin hoki datang sejajar dengan itu, dengan sendirinya. Kalau orang sejak awal percaya dirinya tidak bisa berhasil, maka seumur hidupnya, sepanjang hayatnya, dia tidak akan pernah berhasil.
Bagaimana dengan leadership dalam menghidupkan usaha?
Kalau ditanya definisinya saya nggak bisa jawab. Kalau ditanya hasilnya, saya punya 1.600 orang anak-anak. Mereka itu anak-anak, saya bapaknya, itu saja! Nggak pakai resep. Mereka itu mbututi (mengikuti) saya kok. Jika kamu belum menikah, belum punya istri, belum punya anak, maka apa pun yang saya terangkan tentang ‘bapak’, kamu tidak akan mengerti. Itu pun sudah merupakan jawaban!
Kalau anak-anak tidak mampu melaksanakan apa yang Anda inginkan?
Dibentur-benturkan aja kepalanya ke tembok! Apakah saya bisa andalkan anak saya dari pengetahuannya saja? Pengalaman. Anak pegang sepeda, kalau jatuh itu risiko saya. Si anak merasakan sakit. Tapi sebagai seorang bapak, kalau anak luka, yang ngobatin luka itu siapa? Risiko si anak sakit, luka, berdarah, teriak-teriak. Karena itu dirasakan anak saya, saya ikut merasakan. Saya sebagai bapak harus bertanggung jawab. Saya melaksanakan tugas saya sebagai bapak, sama dengan semua bapak di mana pun bapak-bapak berada. Tidak ada bedanya.
Usaha sudah besar, urusan makin banyak, sistem makin rumit. Bagaimana mempertahankan semua ini?
Saya kan sama anak-anak, tidak sendirian? Harus dilihat saya bersama anak-anak itu sebagai sebuah kebersamaan. Sudah lama saya tidak mengambil keputusan. Anak-anak saya suruh belajar naik sepeda. Terserah mau ke mana dan bagaimana mereka naik sepeda. Kalau saya mengawasi terus, kapan dewasanya anak-anak?
Tidak selamanya orang bisa lurus terus. Kadang meyimpang, kadang melakukan kesalahan?
Saya buka dan bebaskan. Kalau mau melakukan penyimpangan, melakukan kesalahan, silahkan! Bebas kok. Terserah. Seperti anak saya yang naik sepeda, kalau dia jatuh, dia sakit sendiri.
Kesalahan yang disengaja maupun yang tidak?
Dua-duanya boleh. Merdeka kok!
Kedengarannya kok tidak ada mekanisme reward and punishment?
Punishment-nya itu bukan dari saya. Reward-nya juga bukan dari saya. Punishment juga karena kelakuan dia sendiri. Memangnya tugas bapak itu harus punish and reward? Memangnya polisi? Saya paling menghindari perkataan punishment.
Lebih utama pengalaman atau sesuatu yang didapat dari bangku sekolah?
Saya tidak bisa ngomong karena saya nggak sekolah. Menurut istilah Andrias (penulis buku-buku best seller: red), saya ini orang yang belajar, tetapi orang yang tidak pernah sekolah.
Siapa guru-guru terbaik Anda?
Alam. Saya melihat anak-anak, saya lihat pohon, matahari, jalanan, batu, sekeliling saya aja. Apa orang itu ndak bisa belajar dari batu? Banyak orang tua yang tidak rela anaknya tidak sekolah.
Mungkin ada kekhawatiran kalau tidak sekolah nanti tidak bisa hidup?
Apakah mereka tahu dengan sekolah itu anaknya bisa hidup? Apakah nggak sebaliknya, malah karena sekolah dia nggak akan bisa hidup? Kalau saya jadi kamu, segera setelah jadi orang tua, yang saya ingat adalah obrolan saya dengan Bob Sadino. Apakah sekolah itu jaminan bahwa anak itu nanti akan berhasil? Saya hampir pasti kalau kamu jadi orang tua, kamu akan paksa anakmu untuk sekolah. Kalau kamu orang tua yang percaya, bahwa dengan sekolah anak itu bisa sukses, saya cenderung mengkategorikan kamu sebagai orang tua yang tidak bener. Pertama, kamu malas tidak mau mendidik anak sendiri. Kedua, kamu mengandalkan orang lain. Kalau kamu menghendaki anakmu melakukan setiap yang kamu inginkan, kamu orang tua yang paling egois. Bukankah setiap anak itu bebas memilih apa pun yang dia inginkan? Tanpa sadar kamu sedang memperkosa pikiran anakmu. Itu menurut Bob Sadino!
Ada pemikiran, pendidikan adalah warisan terbaik bagi anak?
Kalau semua orang bilang begitu, saya yang akan bilang tidak! Kamu belum menarik garis sekolah itu apa, belajar itu apa. Alangkah prihatinnya saya. Kasihan sekali pada orang tua yang mendidik anaknya, dengan menyuruh si anak masuk di sebuah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding. Bukankah dunia ini lebar? Warisan disempitkan menjadi satu; sekolah. Yang lain-lain nggak dianggap warisan, alangkah sempitnya pemikiran itu. Anak-anak saya ya saya sekolahkan. Tapi setelah itu saya bebaskan, mau apa terserah. Tidak pernah saya paksakan. Dan walau anak-anak saya selesai sekolah, ternyata mereka juga ndak senang sekolah.
Apakah ide-ide semacam ini bagus untuk orang-orang di bangku sekolah?
Saya selalu mengatakan, bagi mereka yang memaksakan kepingin sukses, jawaban saya sangat sederhana dan sangat tidak populer. Kalau kamu mau sukses, besok kamu berhenti sekolah. Dan jelas tidak ada satu orang pun yang mau nurut kata-kata saya. Padahal dia sedang mencari dan mengejar sukses.
Mungkin orang merasa tidak aman jika meninggalkan sekolah dan tidak punya ijazah?
Kamu tahu berapa ribu sarjana yang nganggur. Apakah itu aman buat mereka? Kemarin saya ke IPB sedang mewisuda 1.200 sarjana. Dari 1.200 sarjana yang kemarin diwisuda itu, berapa yang dapat pekerjaan, saya tidak tahu. Yang saya tahu hanya beberapa gelintir saja. Artinya kamu menyekolahkan anak untuk mencapai suatu tujuan, yaitu masuk pada suatu tempat yang tidak aman. Itu jelas sebetulnya. Tapi mengapa paradigmanya tidak pernah mau digeser-geser? Karena itu budaya dari nenek moyang. Orang tua maunya gampang. Sebetulnya sekolah itu hanya wakil saja dari orang tua. Kalau orang tua yang prihatin, ya dia didik sendiri anaknya.
Waktu kecil pernah punya cita-cita?
Nggak punya cita-cita. Kamu bertanya, ‘benar nggak?’ berarti kamu tidak percaya sama saya, kan? Karena aneh, kan? Orang selalu tidak percaya jika saya ngomong yang sejujur-jujurnya.
Bagi Anda apa makna sukses itu?
Bilamana apa yang saya harapkan, itu yang saya dapatkan, itulah sukses. Jadi kalau saya mengharapkan besok saya bisa makan, dan besok saya dapat makan, saya sudah sukses. Buat saya nasi sepiring itu sudah baik. Orang mencari macam-macam itu kan karena tidak pernah menghargai nasi sepiring buat dimakan besok? Saya menghargai itu karena saya pernah lapar. Nasi sepiring itu punya arti besar, segunung sudah. Sesederhana itu! Nasi doang itu bagi saya sudah lebih baik daripada saya tidak makan. Mungkin titik berangkat saya itu yang membuat saya bisa begini hari ini. Orang yang tidak bisa menghargai sepiring nasi doang, karena mereka belum pernah lapar, kan? Mungkin perbedaan yang paling mencolok antara saya dengan begitu banyak orang adalah itu. Makan dianggap taken for granted, kewajaran, karena orang itu tidak punya masalah dengan makan. Tapi orang-orang di pinggir jalan itu, kamu tanya mereka….
Ada saat-saat khusus untuk meditasi atau refleksi diri?
Walah… dengan saya bersosialisasi dan berkomunikasi dengan anak-anak, itu sebuah refleksi spontan, kan? Apakah itu sikap saya, tindakan saya, atau pembicaraan saya, saya mendapatkan refleksinya. Jadi saya tidak perlu lagi merenung. Saya bicara dengan Anda, saya mendapatkan refleksi dari Anda. Refleksinya…oh, segala pertanyaan yang saya jawab anak ini ternyata bingung sendiri ha..ha..ha..
Setelah seperti sekarang ini, ke depan apalagi yang Anda harapkan?
Dari awal saya bilang, besok itu saya mengharapkan bisa makan. Dan keesokan harinya saya bisa makan, dan saya puas. Apalagi yang saya harapkan? Karena itu makna sukses, kan? Sudah cukup. Nah, pulang nanti kamu dipaksa merenung! Bisa nggak menerjemahkan sang sufi ini ha..ha..ha…Kamu mengukur saya itu sekarang, kamu melihat saya serba ada. Kamu lupa sepiring nasi buat saya itu ada, itulah titik ada pada waktu saya punya sepiring nasi besok. Itu titik ada saya. Kalau saya melihat titik pada waktu besok saya mau makan saya dapat nasi, itu sudah titik bagi saya.*
Bob, yang lulus SMA tahun 1953 itu mengkritik keras kecenderungan para orang tua yang malas mendidik sendiri anak-anaknya. Para orang tua itu melepaskan tanggung jawab mendidik anak dan seenaknya membebankan tugas itu pada sekolah. Akhirnya, sering mereka memaksakan kehendak pada anak-anak dalam hal memilih jenis pendidikan. Padahal, kata pengusaha gaek yang pernah ikut-ikutan temannya kuliah di Fakultas Hukum UI ini, semua anak bebas menentukan pilihan. Namun itulah egoisnya orang tua. Tanpa sadar mereka sedang memperkosa pikiran anak-anak.
Bagi Bob, keteladanan sangat bermakna untuk membangun mental seseorang. “Bukan dengan memicu dan memacu, karena banyak orang yang tidak mau dipicu dan dipacu,” tegas Bob. Ia mengaku sangat keras dalam mendidik anak-anaknya, tetapi juga memberi pilihan sebebas-bebasnya. Disiplin harus ditegakkan, tapi kemandirian juga harus ditumbuhkan. Itulah semangat Bob dalam menggerakkan para karyawan di Kemchicks Group, yang mana mereka dianggapnya sebagai anak-anak sendiri.
Teramat sayang jika orang hanya mengingat seorang Bob Sadino sebagai pengusaha nyentrik, yang kemana-mana pakai celana pendek. Makin digali, makin ketemulah sosoknya sebagai seorang Master Kehidupan. Bahasanya bernuansa sufistik. Ungkapan-ungkapan yang sederhana, lugas, dan kadang provokatif namun kaya makna itu, menjadikannya bak seorang “Guru Zen” dalam hal bisnis. “Saya ini seperti sebuah gitar tua di atas meja. Apakah saya bisa mengalunkan irama yang indah atau buruk, tergantung siapa yang memetiknya,” ungkap Bob saat didesak untuk mengeluarkan seluruh ‘ilmunya’ oleh Edy Zaqeus.
Kalau pikiran ini kita umpamakan sebuah cangkir teh, maka kita tak bakalan pernah bisa mengenal “tehnya” Bob Sadino, jika kita tak lebih dulu mengosongkan cangkir itu. Berikut petikan wawancara antara Bob Sadino, sang “Guru Zen” bisnis, dengan salah satu pengagumnya, Edy Zaqeus. Wawancara berlangsung sepanjang perjalanan dari rumah Bob di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sampai di kantornya di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Wawancara ini merupakan salah satu bab dari buku best seller berjudul Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah! (Gradien, 2004)
Rata-rata kalau orang bicara modal, langsung otaknya bilang duit. Orang yang lebih canggih lagi, kalau bukan duit ya benda-benda modal seperti pacul, pikulan, atau becak. Itu modal yang bisa dilihat, dipegang, dirasakan, modal tangible. Ada modal yang tidak bisa dilihat, dirasakan, dipegang. Umpamanya modal keberanian, kemauan, tekad. Saya pribadi, dari mana mulainya? Ya, dari yang tidak kelihatan tadi.
Soal ketidakberanian mengambil risiko, jika berdasarkan perhitungan risikonya terlalu besar. Komentar Anda?
Karena saya berangkat tanpa perhitungan apa-apa, bagaimana saya mau mengitung kalau duit saya tidak punya? Modal saya hanya kemauan, tapi saya punya kaki punya tangan, terus saya melangkah, saya berbuat!
Apa cukup mengandalkan keberanian ambil risiko saja?
Salah satunya iya. Kalau orang biasanya menghindari risiko, saya masuk kategori orang yang mencari risiko, kan? Masa bodoh akibatnya, yang saya cari itu risiko. Silahkan terjemahkan….
Pernah mengalami kegagalan dalam usaha?
Ini pertanyaan yang sangat lucu… Kegagalan itu sudah termasuk dalam usaha. Cari risiko berarti cari kegagalan, kan? Berusaha itu modalnya bukan duit. Duit itu nomor ke seratus kali!
Soal mental kewirausahaan masyarakat kita?
Rata-rata orang Indonesia masih berpikir untuk jadi pegawai saja. Termasuk mereka yang sudah selesai sekolah, sarjana-sarjana itu. Kebanyakan orang tidak mau dipicu dan dipacu mental kewirausahaannya. Karena tidak mau, ya pendekatannya harus beda. Ya, keteladanan saja. Kalau orang melihat Anda berhasil, Anda hanya bisa berharap orang lain mengikuti Anda. Itu saja!
Bukankah itu pasif?
Memangnya kita bisa maksa orang? Kamu mau nggak dipaksa? “Kamu besok berhenti saja jadi wartawan, kamu ikuti jejak saya, mau nggak kamu?!”
Konon dalam usaha perlu ‘naluri bisnis’ (instinct) atau feeling. Anda sendiri?
Dari pengalaman, saya tidak mengatakan bahwa instinct atau feeling itu faktor. Mungkin ada, Mungkin! Tapi itu kan sesuatu yang tidak ada jaminannya? Yang orang katakan feeling bagi saya, sebenarnya adalah karena saya sudah melangkah 999 langkah. Maka langkah saya yang ke-1000 itu, yang sebetulnya langkah berikutnya, itulah yang dikatakan orang instinct atau feeling.
Kalau soal ‘hoki’ atau keberuntungan?
Berapa persen sih orang yang bisa menyandarkan dan mengandalkan sebuah sukses dari faktor hoki? Kenapa nggak dilaksanakan saja, dijalankan saja? Mungkin hoki datang sejajar dengan itu, dengan sendirinya. Kalau orang sejak awal percaya dirinya tidak bisa berhasil, maka seumur hidupnya, sepanjang hayatnya, dia tidak akan pernah berhasil.
Bagaimana dengan leadership dalam menghidupkan usaha?
Kalau ditanya definisinya saya nggak bisa jawab. Kalau ditanya hasilnya, saya punya 1.600 orang anak-anak. Mereka itu anak-anak, saya bapaknya, itu saja! Nggak pakai resep. Mereka itu mbututi (mengikuti) saya kok. Jika kamu belum menikah, belum punya istri, belum punya anak, maka apa pun yang saya terangkan tentang ‘bapak’, kamu tidak akan mengerti. Itu pun sudah merupakan jawaban!
Kalau anak-anak tidak mampu melaksanakan apa yang Anda inginkan?
Dibentur-benturkan aja kepalanya ke tembok! Apakah saya bisa andalkan anak saya dari pengetahuannya saja? Pengalaman. Anak pegang sepeda, kalau jatuh itu risiko saya. Si anak merasakan sakit. Tapi sebagai seorang bapak, kalau anak luka, yang ngobatin luka itu siapa? Risiko si anak sakit, luka, berdarah, teriak-teriak. Karena itu dirasakan anak saya, saya ikut merasakan. Saya sebagai bapak harus bertanggung jawab. Saya melaksanakan tugas saya sebagai bapak, sama dengan semua bapak di mana pun bapak-bapak berada. Tidak ada bedanya.
Usaha sudah besar, urusan makin banyak, sistem makin rumit. Bagaimana mempertahankan semua ini?
Saya kan sama anak-anak, tidak sendirian? Harus dilihat saya bersama anak-anak itu sebagai sebuah kebersamaan. Sudah lama saya tidak mengambil keputusan. Anak-anak saya suruh belajar naik sepeda. Terserah mau ke mana dan bagaimana mereka naik sepeda. Kalau saya mengawasi terus, kapan dewasanya anak-anak?
Tidak selamanya orang bisa lurus terus. Kadang meyimpang, kadang melakukan kesalahan?
Saya buka dan bebaskan. Kalau mau melakukan penyimpangan, melakukan kesalahan, silahkan! Bebas kok. Terserah. Seperti anak saya yang naik sepeda, kalau dia jatuh, dia sakit sendiri.
Kesalahan yang disengaja maupun yang tidak?
Dua-duanya boleh. Merdeka kok!
Kedengarannya kok tidak ada mekanisme reward and punishment?
Punishment-nya itu bukan dari saya. Reward-nya juga bukan dari saya. Punishment juga karena kelakuan dia sendiri. Memangnya tugas bapak itu harus punish and reward? Memangnya polisi? Saya paling menghindari perkataan punishment.
Lebih utama pengalaman atau sesuatu yang didapat dari bangku sekolah?
Saya tidak bisa ngomong karena saya nggak sekolah. Menurut istilah Andrias (penulis buku-buku best seller: red), saya ini orang yang belajar, tetapi orang yang tidak pernah sekolah.
Siapa guru-guru terbaik Anda?
Alam. Saya melihat anak-anak, saya lihat pohon, matahari, jalanan, batu, sekeliling saya aja. Apa orang itu ndak bisa belajar dari batu? Banyak orang tua yang tidak rela anaknya tidak sekolah.
Mungkin ada kekhawatiran kalau tidak sekolah nanti tidak bisa hidup?
Apakah mereka tahu dengan sekolah itu anaknya bisa hidup? Apakah nggak sebaliknya, malah karena sekolah dia nggak akan bisa hidup? Kalau saya jadi kamu, segera setelah jadi orang tua, yang saya ingat adalah obrolan saya dengan Bob Sadino. Apakah sekolah itu jaminan bahwa anak itu nanti akan berhasil? Saya hampir pasti kalau kamu jadi orang tua, kamu akan paksa anakmu untuk sekolah. Kalau kamu orang tua yang percaya, bahwa dengan sekolah anak itu bisa sukses, saya cenderung mengkategorikan kamu sebagai orang tua yang tidak bener. Pertama, kamu malas tidak mau mendidik anak sendiri. Kedua, kamu mengandalkan orang lain. Kalau kamu menghendaki anakmu melakukan setiap yang kamu inginkan, kamu orang tua yang paling egois. Bukankah setiap anak itu bebas memilih apa pun yang dia inginkan? Tanpa sadar kamu sedang memperkosa pikiran anakmu. Itu menurut Bob Sadino!
Ada pemikiran, pendidikan adalah warisan terbaik bagi anak?
Kalau semua orang bilang begitu, saya yang akan bilang tidak! Kamu belum menarik garis sekolah itu apa, belajar itu apa. Alangkah prihatinnya saya. Kasihan sekali pada orang tua yang mendidik anaknya, dengan menyuruh si anak masuk di sebuah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding. Bukankah dunia ini lebar? Warisan disempitkan menjadi satu; sekolah. Yang lain-lain nggak dianggap warisan, alangkah sempitnya pemikiran itu. Anak-anak saya ya saya sekolahkan. Tapi setelah itu saya bebaskan, mau apa terserah. Tidak pernah saya paksakan. Dan walau anak-anak saya selesai sekolah, ternyata mereka juga ndak senang sekolah.
Apakah ide-ide semacam ini bagus untuk orang-orang di bangku sekolah?
Saya selalu mengatakan, bagi mereka yang memaksakan kepingin sukses, jawaban saya sangat sederhana dan sangat tidak populer. Kalau kamu mau sukses, besok kamu berhenti sekolah. Dan jelas tidak ada satu orang pun yang mau nurut kata-kata saya. Padahal dia sedang mencari dan mengejar sukses.
Mungkin orang merasa tidak aman jika meninggalkan sekolah dan tidak punya ijazah?
Kamu tahu berapa ribu sarjana yang nganggur. Apakah itu aman buat mereka? Kemarin saya ke IPB sedang mewisuda 1.200 sarjana. Dari 1.200 sarjana yang kemarin diwisuda itu, berapa yang dapat pekerjaan, saya tidak tahu. Yang saya tahu hanya beberapa gelintir saja. Artinya kamu menyekolahkan anak untuk mencapai suatu tujuan, yaitu masuk pada suatu tempat yang tidak aman. Itu jelas sebetulnya. Tapi mengapa paradigmanya tidak pernah mau digeser-geser? Karena itu budaya dari nenek moyang. Orang tua maunya gampang. Sebetulnya sekolah itu hanya wakil saja dari orang tua. Kalau orang tua yang prihatin, ya dia didik sendiri anaknya.
Waktu kecil pernah punya cita-cita?
Nggak punya cita-cita. Kamu bertanya, ‘benar nggak?’ berarti kamu tidak percaya sama saya, kan? Karena aneh, kan? Orang selalu tidak percaya jika saya ngomong yang sejujur-jujurnya.
Bagi Anda apa makna sukses itu?
Bilamana apa yang saya harapkan, itu yang saya dapatkan, itulah sukses. Jadi kalau saya mengharapkan besok saya bisa makan, dan besok saya dapat makan, saya sudah sukses. Buat saya nasi sepiring itu sudah baik. Orang mencari macam-macam itu kan karena tidak pernah menghargai nasi sepiring buat dimakan besok? Saya menghargai itu karena saya pernah lapar. Nasi sepiring itu punya arti besar, segunung sudah. Sesederhana itu! Nasi doang itu bagi saya sudah lebih baik daripada saya tidak makan. Mungkin titik berangkat saya itu yang membuat saya bisa begini hari ini. Orang yang tidak bisa menghargai sepiring nasi doang, karena mereka belum pernah lapar, kan? Mungkin perbedaan yang paling mencolok antara saya dengan begitu banyak orang adalah itu. Makan dianggap taken for granted, kewajaran, karena orang itu tidak punya masalah dengan makan. Tapi orang-orang di pinggir jalan itu, kamu tanya mereka….
Ada saat-saat khusus untuk meditasi atau refleksi diri?
Walah… dengan saya bersosialisasi dan berkomunikasi dengan anak-anak, itu sebuah refleksi spontan, kan? Apakah itu sikap saya, tindakan saya, atau pembicaraan saya, saya mendapatkan refleksinya. Jadi saya tidak perlu lagi merenung. Saya bicara dengan Anda, saya mendapatkan refleksi dari Anda. Refleksinya…oh, segala pertanyaan yang saya jawab anak ini ternyata bingung sendiri ha..ha..ha..
Setelah seperti sekarang ini, ke depan apalagi yang Anda harapkan?
Dari awal saya bilang, besok itu saya mengharapkan bisa makan. Dan keesokan harinya saya bisa makan, dan saya puas. Apalagi yang saya harapkan? Karena itu makna sukses, kan? Sudah cukup. Nah, pulang nanti kamu dipaksa merenung! Bisa nggak menerjemahkan sang sufi ini ha..ha..ha…Kamu mengukur saya itu sekarang, kamu melihat saya serba ada. Kamu lupa sepiring nasi buat saya itu ada, itulah titik ada pada waktu saya punya sepiring nasi besok. Itu titik ada saya. Kalau saya melihat titik pada waktu besok saya mau makan saya dapat nasi, itu sudah titik bagi saya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar